Kamis, 07 Januari 2010

Berharap Berkah dari Medel (Legenda Sigit Bakaran Wetan-Juwana)

Oleh: Pincuk Suroto

Legenda ini bermula dari runtuhnya Kerajaan Majapahit oleh Demak. Kini petilasan itu membawa berkah, dengan batik sebagai basisnya.

Sehabis Maghrib, Kamis Kliwon atau malam Jumat Legi, salah satu kawasan di Jl. Mangkudipuro, Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Yuwono, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat semarak. Apakah karena waktu itu, 24 September, masih kental aroma lebaran, atau adakah sebuah hajatan yang mewajibkan para warga mengalir menuju suatu tempat?
Ternyata, tempat yang terlihat sibuk lalu lalang itu adalah Balai Desa Bakaran Wetan. Namun, setelah lebih mendekat, bukan balai desa yang dituju para rombongan keluarga itu, melainkan suatu bangunan mirip masjid namun tak memiliki mighrab. Bangunan itu memang letaknya berdekatan dengan balai desa, berjarak hanya sekitar 3 meter. Di samping bangunan tadi berdiri kokoh pohon beringin yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Di pagar itu, telah berkumpul belasan warga, terutama laki-laki, duduk santai mengelilingi pohon beringin.
Di belakang pohon beringin terdapat bangunan pendopo yang tengah disapu oleh seorang lelaki. Di luar pendopo, sebaris teras dipenuhi oleh kumpulan ibu-ibu dan anak-anak yang kebanyakan tengah membawa plastik kresek berwarna hitam. Rasa penasaran kian mendekat, tapi hawa aneh segera menerpa tengkuk: bau wangi kembang setaman membawa wingit, bertambah merinding saat tajam bau kemenyan mengepul dari satu ruang sempit di depan pendopo.
Perasaan takut tapi penasaran saling tarik. Langkah kaki kian mendekat, tapi buru-buru ingin menjauh karena keingintahuan dan takut bergulat saling tindih. Akhirnya sebuah tempat yang “aman” adalah dengan mendekati bapak-bapak yang sedang nongkrong di seputar pohon beringin. Lelaki paruh baya berkaos putih “Swan” tersenyum ketika dihampiri. “Saking pundi mas (dari mana, mas),” tanyanya. Lelaki berambut keperakan yang tak mau menyebut nama ini rupanya tahu bahwa tamu di hadapannya adalah bukan penduduk Bakaran. Ia pun melanjutkan tanya untuk keperluan apa mengunjungi tempat keramat ini. Itulah tempat pemakaman (punden) Nyi Ageng Danowati atau Siti Sabirah, yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai tokoh yang dulunya menjadi pengayom masyarakat sehingga dihormati dan disegani.

Melarikan Diri
Menurut Bukhari (58), tetua desa Bakaran, tempat itu merupakan rumah tinggal Nyi Danowati. Legenda ini bermula dari runtuhnya kerajaan Majapahit karena kalah perang dengan Demak. Para pengikut melarikan diri termasuk Ki Bicak, Nyai Bicak, Nyi Danowati (Murni Sabirah), Joko Suyono, Ki Dhukut, dan Ki Joyo Truno.
Rombongan itu menyamar sebagai rakyat biasa dan berjalan menuju tempat Ki Ageng Sela di Purwodadi untuk mencari perlindungan politik. Setelah bertemu dengan Ki Ageng Sela, rombongan tidak bisa ditampung karena tidak ada jaminan keselamatan bahwa di wilayah itu aman bagi mereka. Akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan dan berpencar menjadi beberapa bagian. Rombongan Ki Dhukut dan Adiknya Sabirah beserta Joko Suyono berjalan ke utara. Sabirah akhirnya menemukan tempat peristirahatan (mekuwon) dan akhirnya tempat itu dinamakan Pekuwon.
Ki Dhukut melanjutkan perjalanan dan menemukan tempat yang dipenuhi tanaman Druju (Druju sing ana), sehingga tempat itu dinamakan Druju Ana atau Juana. Suatu ketika sang adik menyusul Ki Dhukut, dan merasa tempat tersebut lebih baik Sabirah akhirnya ikut kakaknya dan mulai babat alas bersama. Merasa hasilnya sedikit karena perempuan, maka Sabirah meminta kakaknya untuk mencari kayu bakar dan ia akan membakarnya. Lantas abu hasil bakaran tersebut yang terkena angin mengenai daerah menjadi batas wilayah milik Sabirah. Lantas daerah tersebut disebut Bakaran.
Desa Bakaran kian ramai. Sabirah mendirikan bangunan mirip Langgar (mushala) dan membuat sumur biar dikira sebagai tempat berwudlu. Akhirnya Joko Suyono datang dan bermaksud melamar Sabirah, namun Sabirah memberikan sarat agar Joko membuat sumur sejumlah tujuh dalam waktu semalam. Karena merasa sakti, Joko menyanggupi. Tetapi, sampai batas waktu, ia hanya sanggup membuat enam, dan Joko mengaku tujuh dengan sumur yang sudah ada. Untuk membuktikannya, Sabirah meminta Joko meminum air sumur. Kalau bohong, Joko akan mati. Akhirnya Joko setuju. Karena terbukti berbohong, Joko pun meninggal. “Sampai sekarang sumur itu disebut sumur sumpah. Dan, karena sering dijadikan untuk bersumpah dan banyak menelan korban, akhirnya beberapa tahun lalu oleh pemerintah kabupaten sumur itu di tutup,” cerita Bukhari.
Di desa itu, Sabirah, yang kemudian dikenal sebagai Nyi Ageng Bakaran, bersama masyarakat Bakaran hidup dengan medel (membatik) dan jualan nasi. Motif batik itu berasal dari Majapahit yang kemudian dikembangan di desa Bakaran. Nama-namanya hampir sama dengan batik Solo atau Jogja namun bentuk motifnya tidak begitu jelas. Misalnya motif binatang atau tanaman tidak sejelas atau sebagus dari motif Solo atau Jogja. “Ciptaan Sabirah di desa bakaran adalah motif Gandrung. Motif ini adalah kisah cinta Joko Suyono terhadap Sabirah,” terang Bukhari yang merupakan keturunan ke-5 pengusaha batik Bakaran yang masih eksis hingga kini.

Berkah
Dari sinilah batik Bakaran berkembang hingga sekarang. Terdapat 24 motif klasik batik Bakaran, dan sekarang sudah jarang dibuat karena kerumitan dan pekerjaan membuat satu kain membutuhkan waktu hingga satu bulan lebih. Menurut Bukhari, pemilik batik tulis Cokro ini, bahwa ia akan membuat batik tulis klasik hanya karena pesanan saja. Selain proses pembuatan memakan waktu lama batik motif klasik ini jarang peminat. Berbeda dengan motif baru, yang lebih dinamis dan ngejreng peminatnya banyak.
Penghormatan terhadap Nyi Ageng Bakaran hingga kini masih dilakukan, setiap tahun dilakukan upacara bersih desa dengan menanggap wayang kulit semalam suntuk. Dan, yang lebih unik lagi bahwa setiap malam Jumat, masyarakat Bakaran ngalap berkah dengan cara berdoa di dekat sumur sumpah, yang telah ditutup, dengan bunga setaman dan membakar kemenyan. Hal itu bergiliran, seperti yang tampak pada malam lebaran itu. Warga hilir mudik hingga diri hari.
Doa yang disampaikan lewat juru kunci itu dipercaya akan memberikan berkah sesuai dengan permintaan. Setelah berdoa, biasanya warga lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) di sekitar punden Nyi Ageng Bakaran. Di sekitar jalanan pun semakin ramai, lampu thinthir (lampu bersumbu dengan bahan bakar minyak tanah) kian berkibar tertiup udara pagi, namun transaksi penjual bunga di pinggir jalan itu semakin ramai.
Mereka berbondong sekeluarga, suami, istri dan semua anak-anaknya diajak untuk tetirah, berharap berkah di bulan syawal. “Di sini semakin larut semakin ramai, apalagi warga tidak tidur semalam suntuk tanpa hiburan apapun,” tambah warga yang masih nongkrong di dekat pohon beringin tersebut.

Sumber:http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=100
Disini kami hanya ingin menginformasikan kepada sobat Silugonggo Juwono agar lebih mengetahui tentang sebuah legenda, tidak lebih dari itu apalagi menginspirasi sobat semua untuk ngalap berkah disana. Semoga kita bisa mengambil semua sisi baik dan juga pelajaran serta mengetahui sebelum melakukan. Semoga Gusti Alloh memberikan hidayah kepada kita.