Minggu, 08 Desember 2013

30 TAHUN BERLALU

Seorang keturunan Adam yang sejak 30 tahun diperkenankan menginjakkan kakinya di bumi ini sedang memperjuangkan mimpi dan impiannya menjadi suatu kenyataan. Tidak semudah yang dibayangkan pada saat sekolah dahulu, bahwa keinginannya menjadi seorang usahawan atau orang sekarang sering mengatakan enterpreuner adalah sesuatu yang mudah untuk diilakukan. Namun ketertarikannya menjadi orang yang bisa menghasilkan uang melalui jual beli sudah terlihat semasa kecil, diceritakan bahwa dia sering kali menjual hasil permainan (gelang karet, kelereng, kartu gambar, dakocan dll) kepada teman sepermainannya, walaupun sekarang ini baru disadarinya bahwa permainan itu seperti layaknya judi, tapi itulah masa kecil yag belum mempertimbangkan halhal seperti itu.
Setelah beranjak remaja dan dewasa, semakin disadarinya bahwa menjadi usahawan adalah sebuah keniscayaan baginya karena dia berfikir dan mendapatkan sebuah perkataan yang menarik "sebaik-baik manusia adah yang bermanfaat bagi yang lain", dia mengartikan, ketika menjadi seorang pengusaha, berapa banyak orang yang bisa bekerja, berapa banyak keluarga yang bisa dihidupi dari mereka bekerja di perusahaannya. Mulailah saat itu dia berfikir bagaimana dia belajar untuk berjualan. Bahka pada saat kuliah dia tidak malu untuk berjualan keripik singkong yang diambilnya dari ibu kosnya sendiri dan menjualnya serta dibawanya sendiri ke kantin kampus tempat dia kuliah. Disamping itu dia pun sangat bangga dengan kota kelahirannya terlihat diapun berjualan kecap bahkan terasi Juwana kebanggaannya ke swalayan di dekat kampusnya yang saat ini dilihatnya swalayan itu sudah bangkrut, sayang sekali.
Kehidupan kampus sebagai mahasiswapun akan selesai ia lalui, dan keinginan menjadi pengusahapun masih dia pegang, diapun berfikir untuk mendapatkan uang yang besar setelah lulus kuliah nanti apakah dengan bekerja dulu ikut orang, tidak masalah baginya, yang penting bisa menabung untuk mendirikan usaha sendiri. Akhirnya kesempatan itupun ada, sebuah program pemagangan ke Jepang dia ikuti dan dia lulus berbagai tes yang telah dia lalui, dia berfikir inilah kesempatan untuk mendapatkan uang sebagai modal usaha nantinya. Diapun sampai dan menginjakkan di negeri sakura yang dia impikan. Di sana bersama 36 orang teman seangkatan mereka shock dan kaget karena sebuah negara maju yang mempunyai kedisiplinan sangat tinggi bahkan boleh dibilang zero toleransi pada saat bekerja, namun berkat kebersamaan merekapun bisa melaluinya saling memotivasi dan support. Bagaimanapun itu semua dilakukan di negeri orang tidak sebebas di negeri sendiri, hal itu dijadikan sebagai "kawah condrodimuko" tempat untuk mengambil banyak pelajaran selain Yen yang didapattkan. Ketabahan, kesabaran, bahkan keimanan disini diuji.
Walaupun negara ini negara maju namun sebuah budaya saling menghormati, ucapan terimakasih masih terjaga walaupun cenderung tertutup, namun apabila mau untuk mengenal merekapun bisa lebih terbuka. Di Jepang mayoritas beragama shinto, budha, kristen, walaupun demikian karena sifat tertutupnya menanyakan agama yang dipeluknya merupakan sesutu yang tabu. Dengan berbagai tantangan, teman-teman disana bisa membangun sebuah komunitas muslim yang mereka namakan KMIK (Keluarga Muslim Indonesia di Kosai) yang kegiatannya adalah kajian islami bahkan kegiatan-kegiatan lainnya.
Bersama teman-temannya dalam komunitas ini diapun ditunjuk sebagai ketua, walaupun dia merasa berat, tapi bagaimanapun itulah hidup bermasyarakat yang harus ada amanah disana.
(Bersambung)

Selasa, 05 Februari 2013

Belajar di Jepang: Inspirasi Manajemen Sampah Rumah Tangga

Belajar di Jepang: Inspirasi Manajemen Sampah Rumah Tangga
Oleh: Rina Fitriana (Lulusan S2 dari Universitas Yamagata)
Sungguh anugerah yang luar biasa dari Sang Maha Pencipta bahwa saya dapat mencicipi hampir 3 tahun menuntut ilmu di Jepang. Bagi saya, menuntut ilmu di luar negeri bukan saja hanya karena ingin melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi. Lebih daripada itu, saya ingin mempelajari masyarakatnya sehingga negara itu dapat maju. Berdasarkan pengalaman saya selama belajar di Jepang, ternyata kemajuan suatu bangsa bukan saja berakar pada pemerintahan yang berwibawa serta amanah, melainkan ditunjang pula oleh kesadaran masyarakatnya yang kuat akan bagaimana caranya menjadi warga yang baik. Sepintas mungkin kalimat pembuka saya bersifat normatif. Akan tetapi, itulah kenyataan yang saya lihat di sana. Segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Jepang selalu didasari oleh norma yang bermakna.
Salah satu contoh rutinitas selama di Jepang yang menurut saya sangat inspiratif adalah manajemen sampah rumah tangga. Mungkin kita yang berada di Indonesia kadang-kadang terlupakan akan hal ini dan bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan di lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Akan tetapi, saya percaya bahwa perubahan di lingkungan rumahlah yang nantinya dapat menjadi penentu kesadaran bermasyarakat yang bermartabat.
Di Jepang, ketika saya mulai menjalani training bahasa Jepang untuk kurun waktu 7 bulan di Osaka, saya mulai mengenal manajemen sampah. Bahkan sebelum saya tiba di sana, penjelasan mengenai hal tersebut sudah tertulis secara detail yang dikirimkan bersama dengan dokumen lainnya oleh Japan Foundation sebagai pihak sponsor. Pada keterangan di salah satu berkas dituliskan tentang bagaimana seharusnya para trainee ikut serta mengelola sampah di asrama dengan memilah jenis sampah dan memasukkannya pada tong sampah yang tepat. Kesan pertama ketika saya membacanya adalah, “Wah, sungguh begitu teraturnya warga di sana”. Saya sungguh tidak sabar lagi untuk dapat segera tiba di sana dan benar-benar merasakan kehidupan di Jepang secara nyata.
Saya akhirnya tiba di sebuah tempat yang jaraknya tidak jauh dari stasiun Rinku Town, yang merupakan stasiun kereta pemberhentian pertama dari bandara internasional Kansai. Tempat tersebut dinamakan Kansai Japanese Language Center, di mana nanti saya akan menempati asrama yang kamar-kamarnya menghadap Marble Beach. Pantai tersebut merupakan hasil reklamasi yang lokasinya berseberangan dengan bandara internasional Kansai. Saya pun akhirnya diajak berkeliling tempat tersebut, termasuk diperkenalkan dengan manajemen sampah yang berlaku di Osaka dan harus ditaati oleh seluruh warga.
Di sinilah saya bena-benar merasa begitu “malu” pada diri sendiri sambil membayangkan realitas manajemen sampah di Indonesia yang masih belum sterkelola dengan baik. Dalam hati saya pun bergumam, “Seharusnya kita juga bisa seperti mereka yang selalu memelihara lingkungan tetap bersih, nyaman, dan indah dipandang mata”. Saya juga berpikir bahwa masyarakat Indonesia juga mampu untuk dapat menjadi pribadi-pribadi yang teratur dalam segala segi, terlepas dari tingkat pendidikan di masyarakat kita yang beragam. Nyatanya, di Jepang sendiri juga tingkat pendidikan masyarakatnya juga tidak sama. Akan tetapi, mereka dapat memegang konsensus yang sama dalam penataan lingkungan.
Saya merasa begitu beruntung karena ketika di Osaka, saya berkesempatan untuk study tour mengunjungi Maishima Incineration. Tempat ini merupakan sebuah pabrik khusus pengolahan sampah baik organik maupun anorganik. Bersama rekan trainee lainnya, kami dijelaskan tentang tahapan-tahapan pengolahan sampah dengan menggunakan mesin-mesin besar yang canggih. Bangunannya memiliki desain yang sangat unik, tidak seperti bangunan-bangunan di Jepang pada umumnya. Bahkan, menyerupai istana di negeri dongeng. Kami diperlihatkan berbagai cara pengolahan sampah sesuai dengan karakteristiknya. Di sana, ada juga berbagai alat peraga edukatif yang sangat cocok untuk digunakan sebagai media pemahaman bagi anak-anak dalam mengenali berbagai jenis sampah dan pentingnya upaya pemisahan sampah. “Sungguh tempat yang luar biasa, andai saja Indonesia memiliki tempat seperti ini”, pikir saya.
Setelah saya menyelesaikan training bahasa Jepang 7 bulan di Osaka, sebulan kemudian saya mulai masuk program master di Universitas Yamagata. Sesampainya saya di kota Tsuruoka di mana fakultas pertanian tempat saya kuliah berada, saya pun disambut oleh sensei pembimbing dan istrinya. Mereka mengantarkan saya langsung ke apartemen yang sudah beliau pilihkan sesuai dengan budget pribadi saya. Hari itulah saya mendapatkan penjelasan langsung dari pihak pemilik apartemen tentang seluk-beluk apartemen, seperti keadaan ruangan dapur, kamar tidur, kamar mandi, dan termasuk manajemen sampah yang berlaku di Perfektur Yamagata. Saya diberinya selembar kertas besar mirip kalender dan isinya ternyata jadwal pengambilan jenis sampah tertentu pada setiap harinya. Ketika itulah saya menyadari bahwa ternyata pengklasifikasian sampah yang diberlakukan di Yamagata berbeda dengan Osaka.
Seiring berjalannya waktu saya pun mulai terbiasa dengan kehidupan di Jepang. Saya mulai banyak ngobrol tentang hal lain selain masalah riset dengan partner riset saya di laboratorium. Kami pun akhirnya pernah membahas tentang manajemen sampah di Jepang. Dari isi pembicaraan itu pun, saya jadi tahu bahwa setiap perfektur memang memiliki ketentuan yang berbeda dalam hal pemisahan sampah yang dihasilkan di masyarakat. Di Osaka sampah dibagi menjadi tiga golongan, sementara di Yamagata sampah dibagi menjadi lima golongan.
Di Osaka, sampah terbagi atas golongan sampah yang dapat dibakar (moeru gomi: bahasa Jepang atau combustible trash: bahasa Inggris), sampah yang tidak dapat/mudah dibakar (moenai gomi: bahasa Jepang atau non-combustible trash: bahasa Inggris), dan sampah botol minuman yang terbuat dari PET (PET bottle). Berbeda halnya dengan yang ada di Yamagata, di mana sampah dibagi menjadi sampah organik (seperti kertas, sisa-sisa makanan), sampah plastik (seperti kemasan makanan, detergen, dan bahan isi ulang), sampah berbahan logam/kaca/baterai, sampah bahan elektronik/alat listrik, dan sampah botol PET. Walaupun saya bukan warga asli Jepang, informasi yang diberikan telah memudahkan saya untuk mengerti bagaimana cara mengklasifikasikan sampah secara benar sesuai peraturan. Seperti di Yamagata, jadwal pembuangan sampah yang dibuat seperti kalender itu memuat pula deskripsi/contoh-contoh sampah yang termasuk ke dalam golongan tertentu. Dengan demikian jika saya ada keraguan dalam mengenal jenis sampah, saya tinggal membaca deskripsinya saja.
Untuk membedakan antara golongan sampah yang satu dengan yang lain, kantung sampah dengan warna tertentu juga disediakan. Kantung-kantung sampah yang terbuat dari plastic ini dapat ditemukan di supermarket. Di Yamagata, sampah organik harus dimasukkan dalam ke kantung sampah warna coklat, sampah plastik ke kantung warna pink, sampah bahan logam/kaca/baterai ke kantung warna biru, sampah bahan elektronik/alat listrik ke kantung warna hijau, sementara untuk sampah botol PET harus dimasukkan ke kantung kantung warna kuning.
Jadi di apartemen, saya harus selalu menyediakan kelima jenis kantung sampah plastik tersebut. Ketika sudah penuh, saya tinggal menaruh kantung tersebut di bak penampungan sampah yang berada di depan kompleks apartemen, tentunya disesuaikan dengan jadwal yang berlaku. Misalnya, untuk kantung sampah warna coklat akan diambil oleh petugas kebersihan dari penampungan setiap hari Senin dan Kamis, sementara untuk kantung sampah pink dan kuning akan diambil setiap hari Jumat. Nah, petugas pun akan mengambil warna kantung sampah yang sesuai dengan jadwal yang telah ada. Misalkan kita menaruh kantung sampah warna pink di hari Senin, maka hari itu petugas tidak akan mengambilnya dan akan membiarkannya tergeletak di bak penampungan menunggu hingga hari Jumat.
Menurut saya, manajemen sampah seperti ini dapat mulai kita tiru setidaknya untuk di lingkungan rumah. Sekembalinya saya ke Indonesia, saya telah memulai membagi sampah menjadi dua golongan, yakni sampah organik/yang tidak dapat didaur ulang dan sampah yang dapat didaur ulang (seperti kertas, kardus, plastik, berbagai jenis kemasan makanan/bahan pakai/bahan isi ulang, dan berbagai jenis botol).
Mungkin memang di Indonesia belum ada tempat yang memfasilitasi secara khusus pengolahan sampah secara terpisah berdasarkan karakteristik masing-masing. Berbeda dengan Jepang, di Indonesia justru sampah-sampah daur ulang ini menjadi sumber pendapatan bagi banyak pemulung. Oleh sebab itu, dengan konsistensi akan manajemen sampah yang bijaksana, selain berpartisipasi dalam mengurangi volume sampah di TPA kita juga dapat berperan aktif untuk membantu pemulung dalam usahanya mengumpulkan sampah daur ulang. Keuntungan lain juga, bak sampah di depan rumah menjadi lebih tertata dan tidak cepat penuh dengan sampah. Dengan kita memberikan secara langsung kepada pemulung sampah-sampah daur ulang yang telah dipisahkan itu, kebersihan bak sampah menjadi lebih terjaga dan tidak banyak lalat yang beterbangan akibat sampah yang berserakan.
Kontribusi kita sebagai masyarakat kepada negara tidaklah mustahil untuk kita mulai dari ruang lingkup yang kecil, seperti lingkungan rumah. Banyak hal yang dapat kita mulai dari rumah. Selain berguna untuk proses mendidik anak tentang bagaimana cara mengelola sampah yang baik, dengan manajemen sampah rumah tangga yang ekologis dan humanis, kita sendiri dapat menikmati lingkungan rumah yang bersih dan tertib.

Sumber: http://acikita.org/docs/2012/03/15/belajar-di-jepang-inspirasi-manajemen-sampah-rumah-tangga/