Belajar di Jepang: Inspirasi Manajemen Sampah Rumah Tangga
Oleh: Rina Fitriana (Lulusan S2 dari Universitas Yamagata)
Sungguh anugerah yang luar biasa dari Sang Maha Pencipta bahwa saya
dapat mencicipi hampir 3 tahun menuntut ilmu di Jepang. Bagi saya,
menuntut ilmu di luar negeri bukan saja hanya karena ingin melanjutkan
pendidikan ke strata yang lebih tinggi. Lebih daripada itu, saya ingin
mempelajari masyarakatnya sehingga negara itu dapat maju. Berdasarkan
pengalaman saya selama belajar di Jepang, ternyata kemajuan suatu bangsa
bukan saja berakar pada pemerintahan yang berwibawa serta amanah,
melainkan ditunjang pula oleh kesadaran masyarakatnya yang kuat akan
bagaimana caranya menjadi warga yang baik. Sepintas mungkin kalimat
pembuka saya bersifat normatif. Akan tetapi, itulah kenyataan yang saya
lihat di sana. Segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Jepang
selalu didasari oleh norma yang bermakna.
Salah satu contoh rutinitas selama di Jepang yang menurut saya sangat
inspiratif adalah manajemen sampah rumah tangga. Mungkin kita yang
berada di Indonesia kadang-kadang terlupakan akan hal ini dan bagaimana
dampak yang dapat ditimbulkan di lingkungan jika tidak dikelola dengan
baik. Akan tetapi, saya percaya bahwa perubahan di lingkungan rumahlah
yang nantinya dapat menjadi penentu kesadaran bermasyarakat yang
bermartabat.
Di Jepang, ketika saya mulai menjalani training bahasa Jepang untuk
kurun waktu 7 bulan di Osaka, saya mulai mengenal manajemen sampah.
Bahkan sebelum saya tiba di sana, penjelasan mengenai hal tersebut sudah
tertulis secara detail yang dikirimkan bersama dengan dokumen lainnya
oleh Japan Foundation sebagai pihak sponsor. Pada keterangan di salah
satu berkas dituliskan tentang bagaimana seharusnya para trainee ikut
serta mengelola sampah di asrama dengan memilah jenis sampah dan
memasukkannya pada tong sampah yang tepat. Kesan pertama ketika saya
membacanya adalah, “Wah, sungguh begitu teraturnya warga di sana”. Saya
sungguh tidak sabar lagi untuk dapat segera tiba di sana dan benar-benar
merasakan kehidupan di Jepang secara nyata.
Saya akhirnya tiba di sebuah tempat yang jaraknya tidak jauh dari
stasiun Rinku Town, yang merupakan stasiun kereta pemberhentian pertama
dari bandara internasional Kansai. Tempat tersebut dinamakan Kansai
Japanese Language Center, di mana nanti saya akan menempati asrama yang
kamar-kamarnya menghadap Marble Beach. Pantai tersebut merupakan hasil
reklamasi yang lokasinya berseberangan dengan bandara internasional
Kansai. Saya pun akhirnya diajak berkeliling tempat tersebut, termasuk
diperkenalkan dengan manajemen sampah yang berlaku di Osaka dan harus
ditaati oleh seluruh warga.
Di sinilah saya bena-benar merasa begitu “malu” pada diri sendiri sambil
membayangkan realitas manajemen sampah di Indonesia yang masih belum
sterkelola dengan baik. Dalam hati saya pun bergumam, “Seharusnya kita
juga bisa seperti mereka yang selalu memelihara lingkungan tetap bersih,
nyaman, dan indah dipandang mata”. Saya juga berpikir bahwa masyarakat
Indonesia juga mampu untuk dapat menjadi pribadi-pribadi yang teratur
dalam segala segi, terlepas dari tingkat pendidikan di masyarakat kita
yang beragam. Nyatanya, di Jepang sendiri juga tingkat pendidikan
masyarakatnya juga tidak sama. Akan tetapi, mereka dapat memegang
konsensus yang sama dalam penataan lingkungan.
Saya merasa begitu beruntung karena ketika di Osaka, saya berkesempatan
untuk study tour mengunjungi Maishima Incineration. Tempat ini merupakan
sebuah pabrik khusus pengolahan sampah baik organik maupun anorganik.
Bersama rekan trainee lainnya, kami dijelaskan tentang tahapan-tahapan
pengolahan sampah dengan menggunakan mesin-mesin besar yang canggih.
Bangunannya memiliki desain yang sangat unik, tidak seperti
bangunan-bangunan di Jepang pada umumnya. Bahkan, menyerupai istana di
negeri dongeng. Kami diperlihatkan berbagai cara pengolahan sampah
sesuai dengan karakteristiknya. Di sana, ada juga berbagai alat peraga
edukatif yang sangat cocok untuk digunakan sebagai media pemahaman bagi
anak-anak dalam mengenali berbagai jenis sampah dan pentingnya upaya
pemisahan sampah. “Sungguh tempat yang luar biasa, andai saja Indonesia
memiliki tempat seperti ini”, pikir saya.
Setelah saya menyelesaikan training bahasa Jepang 7 bulan di Osaka,
sebulan kemudian saya mulai masuk program master di Universitas
Yamagata. Sesampainya saya di kota Tsuruoka di mana fakultas pertanian
tempat saya kuliah berada, saya pun disambut oleh sensei pembimbing dan
istrinya. Mereka mengantarkan saya langsung ke apartemen yang sudah
beliau pilihkan sesuai dengan budget pribadi saya. Hari itulah saya
mendapatkan penjelasan langsung dari pihak pemilik apartemen tentang
seluk-beluk apartemen, seperti keadaan ruangan dapur, kamar tidur, kamar
mandi, dan termasuk manajemen sampah yang berlaku di Perfektur
Yamagata. Saya diberinya selembar kertas besar mirip kalender dan isinya
ternyata jadwal pengambilan jenis sampah tertentu pada setiap harinya.
Ketika itulah saya menyadari bahwa ternyata pengklasifikasian sampah
yang diberlakukan di Yamagata berbeda dengan Osaka.
Seiring berjalannya waktu saya pun mulai terbiasa dengan kehidupan di
Jepang. Saya mulai banyak ngobrol tentang hal lain selain masalah riset
dengan partner riset saya di laboratorium. Kami pun akhirnya pernah
membahas tentang manajemen sampah di Jepang. Dari isi pembicaraan itu
pun, saya jadi tahu bahwa setiap perfektur memang memiliki ketentuan
yang berbeda dalam hal pemisahan sampah yang dihasilkan di masyarakat.
Di Osaka sampah dibagi menjadi tiga golongan, sementara di Yamagata
sampah dibagi menjadi lima golongan.
Di Osaka, sampah terbagi atas golongan sampah yang dapat dibakar (moeru
gomi: bahasa Jepang atau combustible trash: bahasa Inggris), sampah yang
tidak dapat/mudah dibakar (moenai gomi: bahasa Jepang atau
non-combustible trash: bahasa Inggris), dan sampah botol minuman yang
terbuat dari PET (PET bottle). Berbeda halnya dengan yang ada di
Yamagata, di mana sampah dibagi menjadi sampah organik (seperti kertas,
sisa-sisa makanan), sampah plastik (seperti kemasan makanan, detergen,
dan bahan isi ulang), sampah berbahan logam/kaca/baterai, sampah bahan
elektronik/alat listrik, dan sampah botol PET. Walaupun saya bukan warga
asli Jepang, informasi yang diberikan telah memudahkan saya untuk
mengerti bagaimana cara mengklasifikasikan sampah secara benar sesuai
peraturan. Seperti di Yamagata, jadwal pembuangan sampah yang dibuat
seperti kalender itu memuat pula deskripsi/contoh-contoh sampah yang
termasuk ke dalam golongan tertentu. Dengan demikian jika saya ada
keraguan dalam mengenal jenis sampah, saya tinggal membaca deskripsinya
saja.
Untuk membedakan antara golongan sampah yang satu dengan yang lain,
kantung sampah dengan warna tertentu juga disediakan. Kantung-kantung
sampah yang terbuat dari plastic ini dapat ditemukan di supermarket. Di
Yamagata, sampah organik harus dimasukkan dalam ke kantung sampah warna
coklat, sampah plastik ke kantung warna pink, sampah bahan
logam/kaca/baterai ke kantung warna biru, sampah bahan elektronik/alat
listrik ke kantung warna hijau, sementara untuk sampah botol PET harus
dimasukkan ke kantung kantung warna kuning.
Jadi di apartemen, saya harus selalu menyediakan kelima jenis kantung
sampah plastik tersebut. Ketika sudah penuh, saya tinggal menaruh
kantung tersebut di bak penampungan sampah yang berada di depan kompleks
apartemen, tentunya disesuaikan dengan jadwal yang berlaku. Misalnya,
untuk kantung sampah warna coklat akan diambil oleh petugas kebersihan
dari penampungan setiap hari Senin dan Kamis, sementara untuk kantung
sampah pink dan kuning akan diambil setiap hari Jumat. Nah, petugas pun
akan mengambil warna kantung sampah yang sesuai dengan jadwal yang telah
ada. Misalkan kita menaruh kantung sampah warna pink di hari Senin,
maka hari itu petugas tidak akan mengambilnya dan akan membiarkannya
tergeletak di bak penampungan menunggu hingga hari Jumat.
Menurut saya, manajemen sampah seperti ini dapat mulai kita tiru
setidaknya untuk di lingkungan rumah. Sekembalinya saya ke Indonesia,
saya telah memulai membagi sampah menjadi dua golongan, yakni sampah
organik/yang tidak dapat didaur ulang dan sampah yang dapat didaur ulang
(seperti kertas, kardus, plastik, berbagai jenis kemasan makanan/bahan
pakai/bahan isi ulang, dan berbagai jenis botol).
Mungkin memang di Indonesia belum ada tempat yang memfasilitasi secara
khusus pengolahan sampah secara terpisah berdasarkan karakteristik
masing-masing. Berbeda dengan Jepang, di Indonesia justru sampah-sampah
daur ulang ini menjadi sumber pendapatan bagi banyak pemulung. Oleh
sebab itu, dengan konsistensi akan manajemen sampah yang bijaksana,
selain berpartisipasi dalam mengurangi volume sampah di TPA kita juga
dapat berperan aktif untuk membantu pemulung dalam usahanya mengumpulkan
sampah daur ulang. Keuntungan lain juga, bak sampah di depan rumah
menjadi lebih tertata dan tidak cepat penuh dengan sampah. Dengan kita
memberikan secara langsung kepada pemulung sampah-sampah daur ulang yang
telah dipisahkan itu, kebersihan bak sampah menjadi lebih terjaga dan
tidak banyak lalat yang beterbangan akibat sampah yang berserakan.
Kontribusi kita sebagai masyarakat kepada negara tidaklah mustahil untuk
kita mulai dari ruang lingkup yang kecil, seperti lingkungan rumah.
Banyak hal yang dapat kita mulai dari rumah. Selain berguna untuk proses
mendidik anak tentang bagaimana cara mengelola sampah yang baik, dengan
manajemen sampah rumah tangga yang ekologis dan humanis, kita sendiri
dapat menikmati lingkungan rumah yang bersih dan tertib.
Sumber: http://acikita.org/docs/2012/03/15/belajar-di-jepang-inspirasi-manajemen-sampah-rumah-tangga/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar